Widjanarko, Ajudan Pengkhianat Bung Karno

Rakyat Merdeka, Senin, 26 Desember 2005 
Membantah Imajinasi Antonie CA Dake Tentang Dalang G30S (3)
Catatan Burhan Azis dan A Supardi Adiwidjaya Di Belanda

Adapun bahan pokok andalan dalam menarik kesimpulan oleh Dake untuk mencap bahwa presiden Soekarno sebagai “mastermind peristiwa G30S” adalah apa yang ia sebut sebagai pengakuan Bambang Widjanarko yang dipujinya sebagai “laporan intelijen yang paling dapat diandalkan”, yang “..... datang dari ajudan Sukarno, Bambang Widjanarko. ... Secara umum, ia (Widjanarko —penulis) merupakan saksi yang paling konsisten dan ia merupakan saksi yang paling dapat dipercaya.” (“Soekarno File”, hal 53).
DAKE menulis, pada 30 September malam, presiden Sukarno sedang berbicara pada konferensi para teknisi seluruh Indonesia di Istora Senayan, “Ketika waktu mendekati pukul 22.00, Presiden belum juga berbicara; ia berdiri dan dengan didampingi sejumlah pengawalnya, antara lain Kolonel Sae­lan, Komisaris Polisi Mangil dan Kolonel Widjanarko. Sebelum Presiden meninggalkan tempat, ia menerima surat dari Widjanarko yang baru diterimanya melalui kurir dan berasal dari Untung; Presiden bermaksud membaca surat itu secara santai, maka itu ia menuju salah satu ruangan samping di stadion; surat itu kemudian dimasukkan dalam kantong jasnya dan ia mulai dengan pidatonya. Surat Untung itu antara lain berisi daftar para anggota Dewan Revolusi, yang akan diumumkan pada keesokkan harinya melalui Radio Republik Indonesia”. (“Soekarno File ….”, hal 78). Menurut H Maulwi Saelan: “Hanya seorang ajudan beliau (Bung Karno –penulis) yang berasal dari Angkatan Laut, Kolonel Bambang Widjanarko mau me­nandatangani BAP yang telah direkayasa. Saya dengan tegas telah membantah pengakuan ajudan tersebut. Berita tersebut ingin memberi gambaran yang salah tentang kondisi Presiden RI, pada waktu itu”. (H Maulwi Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ’66. Kesaksian Wakil Komandan Tja­krabirawa”, Penerbit Yayasan Hk Bangsa, Jakarta, 2001, hal 316).
Kolonel Saelan, kepala staf pasukan pengawal presiden yaitu resimen Cakrabirawa yang pada 30 September malam itu bertindak sebagai komandan pasukan pengawal, karena Brigjen Sabur sedang kembali ke rumahnya di Bandung, dalam bukunya “Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ‘66” menulis: “Pengakuan Widjanarko bukan fakta, seluruhnya adalah karangan yang diarahkan untuk keperluan mencari-cari kesalahan Bung Karno. Saya yang terus mendampingi Bung Karno dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar, tidak melihat kedatangan pelayan Sogul yang menitipkan sepucuk su­rat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno. Juga Bung Karno tidak benar malam itu pernah meninggalkan tempat duduk untuk pergi ke toilet dan tidak benar berhenti sejenak di teras ISTORA yang terang lampunya untuk membaca surat. Jelas sekali pengakuan itu, Bambang Widjanarko sebagai Ajudan, telah mengkhianati Presiden. Saya yang membantah kesaksian itu ketika diperiksa oleh Team Pemeriksa Pusat, harus membayarnya dengan mendekam dalam tahanan bertahun-tahun (4 tahun 8 bulan). …Beruntung kemudian saya dire­habilitasi dan dipensiunkan serta menerima tanda penghargaan dari KSAD.”(h 190). Sedangkan pengakuan palsu Bambang Widjanarko “yang kemudian dibukukan dan diedit kedalam bahasa Inggris oleh Rahandi S Karni, Leiden dengan judul “Devious Dalang”, dinyatakan buku larangan dan ditarik dari pe­redaran oleh Jaksa Agung pada 14 Agustus 1990”. (H Maulwi Saelan, “Dari Revolusi ’45 Sampai Kudeta ‘66”, Jakarta 2001, h 190). Seperti dikatakan Saelan, ketika itu memang ada usaha Suharto mencari-cari hubungan G30S dengan Bung Karno. Di samping telah menulis buku “Gerakan 30 September 1965”, sebagai sedikit saksi yang masih hidup, Letkol (PNB) Heru Atmojo menyatakan, “Karena itu, supaya semua orang tahu, bahwa saya juga diminta untuk menandatangani skenario “Kabut Halim”. Saya menolak. Omar Dhani juga menolak. Skenario itu menggambarkan bahwa jenderal-jenderal itu dibawa ke Halim dulu sebelum dibawa ke Lubang Buaya, untuk mendapat “goed gekeurd” (persetujuan -penulis) dari Bung Karno, Aidit dan Omar Dhani di rumah Komodor Susanto” (berdasarkan keterangan langsung Heru Atmodjo kepada penulis pada Minggu, 4 Desember 2005). Selanjutnya mengenai surat Untung kepada Bung Karno itu, Heru Atmojo menyatakan “Saya berkumpul dengan Untung di penjara militer Cimahi, bersama Suparjo dan Subandrio sebelum mereka dieksekusi. Hal kattebelletje (surat singkat –penulis) itu jadi pembicaraan. Untung mengatakan “Itu bohong, karangan, tidak benar, ..”. RM.