Pejuang dan Kriminal

Pejuang dan kriminal jelas kosa kata dengan pengertian seperti bumi dan langit. Tapi ada kalanya, dua makna itu melekat beriringan dalam perjalanan hidup seseorang. Maklumlah hidup toh abu-abu. Suatu waktu, seorang pejuang terpaksa mati sebagai bajingan, ataupun sebaliknya bromocorah yang justru mengukir ujung hidup dengan bentangan merah putih di peti matinya. Sejarah punya catatannya tersendiri.

Ketika semangat kemerdekaan masih menggelora dan apa daya jumlah orang yang mau bertempur masih minim, bos-bos tentara-tentara dalam pertemuan di Jogja, 25 Desember 1945 terpaksa merekomendasikan untuk membebaskan seluruh tahanan di penjara dan mengorganisir mereka ke dalam laskar-laskar perjuangan. Seketika, di Solo muncul Barisan Hitam Putih dan di sekitar Surabaya berdiri Barisan Bawah Tanah. Sebagian mereka mati sebagai pahlawan.

Sekitar dua ratus lima puluh tahun sebelumnya, Untung Surapati juga meninggalkan nama yang harum di tanah Jawa. Padahal sebelumnya, ia hanyalah pemimpin dari gerombolan kriminal yang kerap mengganggu tidur malam tuan-tuan tanah Belanda di seputar Batavia. Untung si pembunuh Kapten Tack, gugur sebagai pejuang saat mempertahankan Bangil dari serbuan VOC.

Kusni Kasdut tak seberuntung Untung. Tahun 1980, dalam keremangan pagi, ia harus menerima hantaman peluru regu tembak, bukan dari jejeran serdadu musuh tapi prajurit sebangsanya sendiri. Kusni yang di era revolusi tergabung dalam Batalyon Rampal Malang harus menerima risiko dari pilihan hidupnya sebagai perampok. Tiga puluh tahun sebelum Kusni, Suradi Bledeg, pejuang pemberani dari Merbabu juga harus meregang nyawa di depan Polisi Klaten karena membegal.

Lain lagi dengan cerita beberapa tokoh militer di masa selepas pengakuan kedaulatan RI. Sebagian di antara para perwira menjalani hidup dengan peran ganda. Hadap kanan sebagai pejuang, hadap kiri sebagai dedengkot dunia hitam. Seolah menjadi prototipe dwifungsi yang tengah mencari-cari bentuk.

Mantan komandan Front Bandung Utara, Kolonel Sukanda Bratamanggala, usai revolusi mendirikan geng preman yang menguasai pasar-pasar, terminal dan pusat keramaian di Bandung. Namanya Geng Kobra, akronim dari pangkat dan namanya sendiri, Kolonel Bratamanggala. Geng inilah motor dari aktivitas okem di Bandung.

Melintas ke Jakarta, bekas tokoh kelaskaran di Betawi, Letkol Imam Syafei justru mencatatkan dirinya sebagai menteri negara dalam Kabinet Dwikora di penghujung pemerintahan Soekarno. Sementara dalam panggung yang lain, Bang Pi’i - demikian namanya kerap disebut - punya singgasana di Pasar Senen tempat ia bertahta sebagai raja copet se-Djakarta Raya.

Ada lagi jenis yang lain. Kategori yang satu ini terus terang sukar saya tempatkan. Dialah Kolonel Yasir Hadibroto. Publik mengenalnya sebagai hero yang menamatkan riwayat Jawara PKI, DN Aidit di era tahun 1965. Tapi apa iya seorang pahlawan tega menjarah jam tangan dari korban yang baru ia hujani dengan siraman peluru. Ganti memasangnya di pergelangan tangannya sembari memamerkannya seperti kanak-kanak kepada teman-temannya.

Hmmm, dunia memang selalu muncul dalam wajah yang abu-abu.